Saatnya Literasi Digital Menjadi Kurikulum Sekolah


Foto: http://library.nuigalway.ie


Disinformasi yang lebih populer dengan hoaks kini menjadi momok menakutkan. Bahkan pemerintah melalui Menkominfo terpaksa membatasi akses media sosial guna menangkal video dan berita hoaks.
Meski bertujuan baik, namun tindakan itu menuai kontra. Pasalnya, tidak semua warganet menggunakan media sosial sebagai kegiatan politik. Media sosial saat ini menjadi bagian penting dalam berbagai aspek kehidupan. Ada yang menggunakan untuk berbisnis, pendidikan, maupun kegiatan sosial.
Pembatasan yang sifatnya temporer tersebut perlu dicarikan solusi, penemuan jalan keluar yang berdampak jangka panjang; sebuah solusi yang bukan hanya menangkal hoaks akan, tetapi menghentikan penyebarannya. 
Penyebaran hoaks bukan hanya didominasi urusan politik. Bahkan dunia kesehatan juga mengalami hal yang sama. Padahal dampaknya sangat fatal. Bisa dibayangkan bila pengguna Internet menjadikan informasi salah tersebut sebagai rujukan bagi kesehatannya.
Bila segala lini kehidupan kini bergantung pada Internet, termasuk media sosial, maka bukan akses Internet atau media sosial yang harus disalahkan. Senjata itu tidak bisa membunuh; pengguna senjata itu yang menjadikan senjata sebagai alat untuk membunuh.
Penting bagi kita melakukan usaha pendidikan literasi digital. Sementara itu, selama ini, pendidikan literasi digital mayoritas hanya dilaksanakan di kampus. Padahal mayoritas pengguna Internet bukan dari kampus. Universitas-universitas di Indonesia hanya menyumbang pengguna Internet 5% dari seluruh pengguna di Indonesia.
Karenanya, literasi digital perlu dikembangkan, termasuk menjadikannya kurikulum di sekolah-sekolah. Melalui literasi digital, siswa memiliki proses penyaringan sebelum disebarkan. Proses saring sebelum sharing perlu dilakukan guna meminimalisasi penyebaran hoaks.
Literasi digital yang dilakukan di sekolah kita nantinya bukan hanya meliputi aspek pengetahuan teoritis, akan tetapi aspek praktis. Poin dari literasi digital ialah kecakapan mengakses, memahami, membuat, mengomunikasikan, serta mengevaluasi informasi melalui perangkat teknologi digital.
Kecakapan tersebut yang selama ini belum banyak dimiliki pengguna Internet kita. Akibatnya, disinformasi tersebar dengan mudahnya sehingga sulit membedakan mana informasi yang sebenarnya. 
Paling menyedihkan lagi, penyebaran dilakukan oleh mereka yang dianggap publik figur. Mereka yang memiliki pengikut media sosial ratusan ribu bahkan jutaan. Dampaknya tentu sistemik. Karenanya, tindakan pencegahan harus diprioritaskan.
Para pelajar kita harus aman dari 'penyakit' sharing tanpa saring. Mereka harus memiliki kemampuan literasi digital. Tentunya akan dimulai dari para guru. Jangan sampai guru menjadi sumber penyebaran hoaks.
Di dunia, beberapa negara telah memasukkan literasi digital dalam kurikulum sekolah. Misalnya di Finlandia, Kanada, dan Australia. 
Bagaimana dengan Indonesia? Benar bahwa kita telah memiliki siberkreasi sebagai gerakan literasi digital nasional. Namun fungsinya belum maksimal. Terbukti, kita terpaksa membatasi media sosial.
Enggannya pengguna Internet mencari kebenaran sebuah konten dan maraknya pembuatan konten hoaks perlu segera diatasi dengan cara cerdas. Pembatasan media sosial hanya merugikan bagi pengguna yang memanfaatkan media sosial untuk hal yang sifatnya positif. 
Solusi 'miskin' ide tersebut sebaiknya jangan dilanjutkan. Selain memberikan edukasi literasi digital kepada masyarakat, menurut saya, untuk target jangka panjangnya, perlu kiranya literasi digital memasuki sekolah-sekolah kita.
Jangan sampai siswa kita menjadi konsumen disinformasi sekaligus penyebar. Mereka nantinya menjadi duta-duta literasi digital di lingkungan masing-masing, atau minimal pencerah bagi keluarganya.
Bila kita amati, media sosial terbanyak digunakan di Indonesia ialah Facebook. Berdasarkan penelitian, konten terbanyak disinformasi adalah Facebook, yakni sekitar 80% lebih. Diikuti Line (11, 37%) dan Twitter (10,38%).
Selain regulasi dan edukasi literasi digital ke sekolah-sekolah, pemerintah hendaknya menggandeng platform media sosial. Melibatkan komunitas dan LSM juga penting dilakukan serta media online, cetak, maupun elektronik. Pastinya pemerintah harus memastikan institusi pendidikan bebas dari kegagapan literasi digital.
Bila kaum terpelajar sudah terpapar hoaks, radikalisme dan terorisme, kepada siapa nasib negeri ini nantinya akan diberikan? Sehingga, selain hoaks, literasi digital juga berguna menangkal paham radikal dan paham yang menghalalkan segala cara, terorisme misalnya. Pencegahan harus segera dilakukan. Jangan menunggu siswa terkontaminasi.
Selama ini, kegiatan literasi digital yang dilakukan sekolah hanya 3,68%. Hal itu diungkapan Jaringan Pegiat Literasi Digital Indonesia (Japelidi). Pemaparan pada April 2017 itu menunjukkan masih minimnya edukasi literasi di sekolah-sekolah kita.
Padahal pengguna Internet dari kelompok ini cukup aktif, terutama di media sosial. Karenanya, literasi digital perlu diberi porsi yang lebih. Setidaknya akan menumbuh-kembangkan cara berpikir kritis.
Critical thinking harus jadi tradisi kaum terpelajar. Berpikir kritis akan menyelamatkan generasi sekaligus masa depan bangsa ini. Penyebaran radikalisme yang bertentangan dengan nilai negara maupun agama serta kemanusiaan kerap disebarkan melalui media sosial. 
Perekrutan anggota kelompok radikalisme dan terorisme juga makin dimudahkan dengan adanya media sosial. Karenanya, pembekalan literasi digital sejak dini kepada siswa tidak bisa ditawar lagi jika ingin negeri ini selamat. 
Namun, jika hanya ingin mempertahankan kekuasaan yang sementara, pembatasan akses media sosial sangat efektif. Meski banyak celah mengelabuinya. Tapi bila ingin generasi masa depan selamat, sudah waktunya literasi digital dimasukkan dalam kurikulum sekolah.

Comments

Popular posts from this blog

HEL KETA : UPACARA REKONSILIASI ANTAR-WILAYAH

Tips Meningkatkan Rasa Percaya Diri